Kesaksian dari Bp.
A Seng (pangusaha)
Shalom, terima kasih
untuk kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bersaksi.Kesaksian ini untuk
memuliakan Tuhan dan disampaikan apa adanya, tanpa bermaksud menyinggung atau
mempermalukan siapapun. Oleh karena itu, sya mohon maaf terlebih dahulu.
Dulu saya adalah
seorang pengusaha sepatu. Usaha itu maju dan berkembang dengan luar biasa. Tapi
kemudian saya mengaami proses. Tuhan ijinkan saya mengalami kebangkrutan.
Akhirnya usaha saya, rumah, mobil, semuanya habis dan hutang bertumpuk sangat
banyak, tidak mampu saya bayar.
Dalam kondisi itu,
saya sangat stres. Ketika itu, saya memang belum betobat. Tetapi saya sudah
sering ke gereja. Waktu itu, Gereja Sungai Yordan masih beribadah di gedung
Graha Air Kehidupan, Jl. H. Abbas. Ketika saya mengalami kebangkrutan, saya
tidak memiliki seorang teman yang bisa menasehati saya., memberikan ide atau
jalan supaya kita bisa semangat kembali. Apalagi biasanya, jika sedang
bangkrut, rumah tangga dan keluarga pun mengalami masalah.
Waktu itu, saya
berencana menjual rumah saya di daerah Paris II. Sebuah rumah 2 tingkat, dengan
lebar 20 m. Tetapi istri saya tetap mempertahankannya. Namun akhirnya juga
tidak bisa dipertahankan juga. Rumah saya yang ditempat lain pun habis dijual.
Sekalipun saya belum bertobat, tetapi saya bukan penjudi, pemabuk, tidak pernah
terlibat kriminal. Namun semua uang dan harta saya tetap ludes.
Saya bingung, tidak
ada jalan keluar dan tidak ada teman yang bisa diajak bicara. Di rumah pun
sering bertengkar dengan istri sampai hampir mau cerai. Saya pun tidak tahu
mengapa bisa sampai begini, padahal sebenarnya saya sayang dengan istri,
sekalipun dia bersalah, tapi saya sering mengampuninya.
Saya sudah sering
berbicara dengan beberapa adik ipar saya. Saya katakan, jika saya di rumah
sering bertengkar dengan istri, sehubungan dengan ekonomi keluarga yang sedang
sulit. Mungkin istri juga sering pulang ke rumah orang tuanya dan berbicara
dengan mereka, tentang perkelahian kami. Jadi saya minta tolong dengan adik
ipar saya untuk mengatakan kepada istri supaya bisa mengerti keadaan saya
sebagai kepala rumah tangga, Tetapi justru kepahitan yang saya peroleh.
Saya sudah pernah
share masalah ini dengan Pdt. Tonny dan beberapa kawan gereja. Suatu hari, Saya
berniat mau ke rumah mertua saya dengan tujuan untuk menjelaskan kepada mereka,
jika keadaan saya sudah susah. Saya datang bukan untuk pinjam uang atau minta
beras. Saya hanya ingin minta nasehat, berikan saya ide dan jalan, supaya saya
bisa bangkit dan berusaha kembali.
Saya datang ke sana.
Saya mulai menjelaskan keadaan saya ini, tetapi justru saya diminta untuk
menceraikan istri. Hal ini sangat melukai dan membuat hati saya pahit. Bukan
saran, ide dan nasehat yang saya terima, tetapi sebaliknya. Jadi kepahitan saya
sangat besar. Sampai bulan Novembur 2011 lalu, saya masih belum bisa mengampuni
mereka. Ketika saya masih jaya, istri saya tidak pernah kekurangan suatu
apapun. Bahkan ketika sudah susah, saya tidak pernah pinjam, apalagi minta uang
dan beras dengan keluarga istri.
Ketika saya mendapat
perkataan seperti itu, saya pun berdiri hendak pergi. Saya pun pergi dengan
kesal. Saya mengendarai motor tanpa tujuan. Belok ke kiri, ke kanan, tapi tanpa
tujuan, tidak tahu menyasar di mana, seperti orsng ling-lung. Saya sudah sangat
stress.
Bukan menyombongkan
diri, tetapi sejak kecil memang saya tidak pernah hidup susah. Saat itu, saya
tidak bisa terima kenyataan hidup. Sampai saya pernah mencoba untuk bunuh diri.
Ketika saya pergi dari rumah keluarga tadi, tanpa sepengetahuan saya, tiga
orang saudara istri saya ingin menjebak saya. Waktu saya sampai di rumah,
adiknya menelepon dan meminta saya kembali ke rumah. Katanya mau berbicara
dengan saya. Saya pun kembali, karena saya memang bertujuan untuk berbicara.
Saya mau bicara dan minta nasehat tentang masalah rumah tangga kami.”
Setelah tiba di
sana, ternyata ibukan kebaikkan yang saya terima. Ketika saya masuk ke rumah,
langsung pintu rumah itu dikunci dari dalam. Mereka bertiga mau memukuli saya.
Saya pun melawan, tetapi untung kakak ipar saya tiba dan membantu saya, jika
tidak saya sudah dikeroyok. Saya pun pergi.
Saya pustukan untuk
pergi ke Jakarta dengan uang yang pas-pasan. Dengan kasih karunia Tuhan, saya
bisa berusaha dan bangkit kembali. Saya belum punya uang cukup, jadi saya
kredit motor. Namun saya masih depresi waktu itu. Setiap malam saya selalu
bermimpi buruk, dendam, menangis sampai berteriak-teriak. Tetapi puji Tuhan,
saya bisa bangkit kembali, tanpa bantuan pihakkeluarga istri. Tetapi sakit hati dan dendam masih ada
dalam hati saya.
Sekitar
November 2011, saya datang dan beribadah di gereja Sungai Yordan di gedung
Graha Mazmur 21, atas ajakan dari Pdt. Markus Tonny Hidayat, yang memang sudah
melayani dan mementori saya ketika masih
beribadah di Jl. H. Abbas. Saya
dipulihkan kembali ketika beribadah di sini. Saya menyadari bahwa dalam keadaan
apapun, kita sebagai anak, cucu, mertua atau istri, derajatnya tidak akan
pernah berubah. Ketika saya beribadah di Sungai Yordan, batu yang terasa
puluhan kilo beratnya, yang tersimpan dalam hati saya, telah terangkat dan
dibuang Tuhan. Dalam keadaan apapun, anak adalah tetap anak, dan mertua tetap
mertua. Selesai beribadah, saya pulang dan berlutut dihadapan Tuhan, mengucap
syukur atas kasih karunia-Nya yang sungguh besar. Lalu saya mendatangi mertua
saya dan mohon pengampunan mereka, sekalipun sebenarnya saya tidak bersalah. Betapa luar biasanya orang yang
membangun Rumah Kediaman-nya dan memiliki seorang mentor yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar