Entri Populer

Rabu, 01 Februari 2012

KERAJAAN YANG TIDAK TERONCANGKAN Bagian 5A, Pemberdayaan dalam Keluarga

KERAJAAN YANG TIDAK TERONCANGKAN
Bagian 5A, Pemberdayaan dalam Keluarga

“Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” – Kolose 3:16-17

Seringkali kita jumpai banyak anak-anak remaja yang dididik dengan keras oleh orang tuanya. Ketika melakukan kesalahan, langsung dihukum oleh orang tuanya, dengan berbagai cara, bahkan dipukul. Ketka sang anak telah dewasa, menjadi orang sukses dalam kehidupan, maka orang tuanya akan berkata, “Kalau kamu tidak dididik dengan keras dulu, mungkin kamu tidak akan seperti sekarang ini.”Terkadang pola didikan seperti itu bisa membuat anak bertumbuh menjadi orang yang berguna, sekalipun caranya agak kasar.
Tetapi ada juga sebagian remaja yang dididik dengan penuh kelembutan. Jika melakukan kesalahan, jarang dihukum, hanya sekedar dimarahi saja dan tidak pernah dipukul. Orang tua yang demikian merasa takut untuk melukai hati anaknya. Tetapi seringkali pola didikan seperti ini, menjadikan anak itu manja, tidak mandiri, memberontak, dan setelah dewasa, menjadi orang yang tidak sesuai harapan.
Sahabat, Alkitab berkata bahwa kita memerlukan cmbuk untuk mendidik anak. Hal itu berarti, jika si anak melakukan kesalahan. Harus ada disiplin yang diberikan, sehingga membuat sang anak merasa sakit dan “jera”. Ini akan menjadikan sang anak sebagai pribadi yang mudah dibentuk, sesuai dengan kebutuhannya.
Saya percaya, sekalipun banyak anak yang menerima didikan keras dari orang tuanya, tetapi sesungguhnya tidak ada orang tua yang bermaksud untuk menyakiti anaknya. Sekalipun sang anak menjadi sakit hati. Sakit hati sang anak terjadi karena orang tua belum mampu mengontrol emosinya, ketika menyikapi persoalan anaknya, sehingga melakukan pendisiplinan yang berlebihan.
Dari pemikiran ini, saya simpulkan bahwa tidak ada satupun orang tua yang menghendaki anaknya rusak. Disiplin yang tegas dan cenderung kasar itu, dilakukan orang tua, seturut dengan kemampuan dan pengetahuannya, untuk memperlengkapi sang anak, supaya bertumbuh dewasa.
Tidak jarang kita jumpai orang-orang yang sekarang sudah sukses, ketika masih kecil, dididik dengan keras oleh orang tuanya. Tetapi hasilnya sangat baik, yaitu menjadi orang yang berhasil. Justru hal ini sangat bertolak belakang dengan anak zaman sekarang ini. Pendidikan rumah tangga, akan memberikan pertumbuhan secara alamiah, jika dilakukan dengan motivasi yang benar, sekalipun mungkin metodenya kurang baik dan kurang tepat dengan kondisi jaman ini.
Ketika kita masih kecil, kita menemukan bagaimana orang tua kita jarang mendidik kita secara teori, tetapi lebih sering dalam prkatek. Mereka lebih sering memperlengkapi kita secara kontekstual dalam kehiduan sehari-hari. Tanpa disadari, sebenarnya inilah cara Tuhan yesus, mendidik para murid-Nya. Inilah pemberdayaan kekeluargaan.
Alkitab berkata bahwa ada banyak pendidik, tetapi hanya sedikit bapa. Artinya di dunia ini, tidak sulit kita menemukan guru, pendidik, dan semacamnya. Tetapi sangat sulit kita menemukan adanya orang yang bisa menjadi bapa. Di rumah pun kita jumpai, orang tua dengan model, gaya dan metode seperti seorang guru. Di kantor, kita juga dibebani oleh atasan dan dibebani dengan berbagai seminar dan training, yang bersifat “guru”. Kemudian, di gereja, kita juga mendengarkan kotbah yang juga bersifat “guru”. Lalu dimana “bapa”?
“Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu.” – 1 Korintus 4:15.
Jadi, kebutuhan dunia saat ini adalah kehadiran seorang bapa. Gereja harus melayani dengan sifat pembapaan. Jika tidak, maka gereja hanya menjadi tempat pemindahan pendidikan agama, yang biasa diperoleh di sekolah. Apa bedanya? Ibadah raya Minggu, akhirnya disamakan dengan sekolah minggu saja.
Kebanyakkan gereja kurang memperhatkan hal-hal seperti ini, sehingga sulit dijumpai adanya pembapaan di gereja. Tuhan berbicara kepada saya bahwa untuk hidup dalam Kerajaan yang tidak tergoncangkan, harus memiliki mental Kerajaan. Hal ini tidak dapat ditransferkan melalui pendidikan, tetapi harus melalui pemberdayaan secara langsung disetiap aspek kehidupan (melalui keteladanan dan praktek langsung). Bagian selanjutnya dari intisari buku ini (bagian 5 B), akan kita lanjutkan kemudian.(YES)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar